RSS

Dilema Konservasi dan Realitas Sosial di Kawasan Situs Biting

Penghancuran peninggalan sejarah berupa kawasan cagar budaya menunjukkan gambaran keprihatinan kegiatan konservasi. Bukan hanya sekadar uang dan pengetahuan saja, namun dedikasi dan keinginan yang kuat juga menentukan. Ketidakpastian situasi politik dan krisis ekonomi nasional yang berkepanjangan merupakan saat tepat untuk mengkaji kembali hakikat pemugaran dalam perencanaan dan perancangan kota di Indonesia, lebih tepatnya di Kabupaten Lumajang sebagai bagian dari usaha pembentukan identitas bangsa.
 
Sebenarnya sejak tahun 1931, Indonesia, waktu itu Hindia Belanda, telah memiliki Monumenten Ordonantie Nr. 238, yaitu peraturan perlindungan terhadap bangunan lama/bersejarah. Pada tahun 1992, perangkat hukum tersebut direvisi menjadi UU Cagar Budaya Nomor 5/1992. Tetapi, keberadaan UU ini belum menjamin bahwa kegiatan pelestarian dan pemugaran di kota-kota Indonesia berlangsung baik, karena petunjuk pelaksanaan teknis maupun dukungan kebijaksanaan masih dalam proses penggarapan. Undang-undang tersebut pun direvisi dengan yang baru yaitu UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. dalam undang-undang tersebutpun juga masih belum jelas kebijakannya. Ibaratnya maling yang sudah jelas bersalah pun tidak bisa diadili karena peraturan2 yang menjeratnya saja masih belum ada. Ya..., meski sudah hampir 3 tahun ditetapkan, namun UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya ini masih belum mempunyai Perarutan Pemerintah sebagai dasar pelaksanaannya.

Lemahnya penerapan aspek legal dan kurangnya pemahaman mengakibatkan tidak sedikit benda/kawasan atau apapun yang jelas2 termasuk cagar budaya, baik yang sudah ditetapkan ataupun belum dikorbankan demi pembangunan baru (modernisasi). Di sinilah terjadi konflik kepentingan antara pro dan kontra kegiatan pelestarian/pemugaran. Situasi ini masih diperburuk dengan kurangnya partisipasi dan motivasi masyarakat dalam proses pembentukan lingkungan. Pertanyaan yang dapat diajukan adalah sejauh mana kaitan kegiatan konservasi dengan realitas sosial di Kabupaten Lumajang?

DALAM era pertumbuhan ekonomi, modernisasi fisik menjadi usaha penyetaraan. Semangat kebebasan yang berujung kapitalis atau apa itu melatarbelakangi proses tersebut. Pada sisi lain, orientasi terhadap tuntutan ekonomi tidak hanya menyebabkan deorientasi pembangunan fisik, tetapi juga penolakan terhadap konsep serta produk seni bangunan dan seni tatakota yang telah terbina, termasuk warisan sejarah dari zaman kerajaan hindu budha yang juga terjadi di Lumajang. Contoh konkretnya adalah Konservasi Penyelamatan Situs Biting.

Secara empiris, kegiatan konservasi di kebanyakan wilayah dipelopori dan dilakukan ahli-ahli asing atau sebagian kecil masyarakat berkecukupan yang sempat memperoleh pendidikan langsung/tidak langsung dari perguruan tinggi. Meskipun golongan masyarakat ini semakin hari jumlahnya meningkat, tetapi bukan jaminan penyebaran apresiasi terhadap warisan cagar budaya berjalan lancar. Terlebih lagi kegiatan pembangunan fisik perkotaan di Lumajang masih berada pada sekelompok masyarakat tertentu dan bagi mereka bahkan menjadi semacam komoditi. Kondisi ini mengakibatkan timbulnya kesenjangan di dalam struktur masyarakat yang tercermin juga pada sektor pembangunan fisik. Jadi, jelaslah mengapa kegiatan pelestarian dengan segala aspek kulturalnya masih bersifat politik dan ekomoni serta belum memasyarakat.

Atas dasar pemikiran inilah maka pertimbangan kritis terhadap warisan sejarah, khususnya benda cagar budaya, menjadi sentral. Diperlukan usaha kreatif dalam melestarikan warisan budaya sejarah tersebut. Nuansa pendidikan dalam mengapresiasi konsep lama dan menginovasi sejarah sebagai acuan untuk mengembangkan konsep baru menjadi hal yang tak terelakkan, seperti dituturkan arsitek Richard Rogers (1988)...In all fields, not least in architecture, it is generally accepted that to learn from the past is the way forward and that history is a prime generator. Proses ini pada hakikatnya merupakan semangat dari konservasi.
 
Dalam konsep pengungkapan kembali bangunan bersejarah perlu adanya suatu manfaat yang jelas bagi komunitas untuk masa kini dan masa depan. Konservasi harus mampu mengantisipasi dan menjawab permasalahan lingkungan, sehingga kegiatan konservasi bukan hanya untuk mengenang dan membekukan masa lalu.
 
Sentimental budaya harus dihilangkan karena sebagian dari masa lalu bukan untuk menjadi kenangan, melainkan untuk dijadikan pertimbangan bagi konsep pengembangan lingkungan hidup. Dengan demikian, hakikat dan salah satu tujuan penting konservasi bangunan dan kawasan cagar budaya adalah untuk proses belajar dan pengembangan komunitas di Kabupaten Lumajang
 
Melalui penafsiran sejarah dan apresiasi kritis terhadap warisan budaya ini diharapkan komunitas semakin mampu menghargai eksistensi warisan budaya. Dengan penulisan sejarah tentang bangunan dan kawasan lama pula, maka proses apresiasi ini bisa berlangsung.

Realitas sekarang menunjukkan, kegiatan konservasi masih berada pada posisi marjinal. Meski demikian adalah tanggung jawab bersama untuk menginformasikan dan menyosialisasikan kegiatan konservasi dengan pendekatan partisipatif, yaitu melibatkan masyarakat ikut mengartikulasikan permasalahan lingkungan. Partisipasi masyarakat mengindikasikan suatu bentuk proses perencanaan dan perancangan demokratis. Dengan demikian masyarakat tidak saja diberi kesempatan aktif mengenal, belajar dari lingkungannya, tetapi juga ikut bertanggung jawab.
 
Akan tetapi, mengingat realitas sosial masyarakat Lumajang, implementasi proses perencanaan dan perancangan masih memerlukan fungsi advokasi yang tidak sekadar memberi bantuan teknis, tetapi juga memberi dukungan dan bantuan moral kepada masyarakat serta melindungi hak dan kepentingan mereka. Jadi, fungsi advokasi ini diharapkan menjembatani berbagai kepentingan dari para pemangku dalam kegiatan pelestarian/pembangunan, yaitu masyarakat, swasta dan pemerintah.
 
Seandainya pembentukan identitas nasional diyakini dapat diraih melalui pelestarian kekayaan warisan budaya masa lampau, maka pembangunan lingkungan binaan seharusnya berangkat dari kenyataan yang ada. Proses pemahaman warisan budaya dan apresiasi makna sejarah didalamnya memerlukan waktu, karena keduanya juga bagian dari proses berbudaya suatu komunitas. Pada akhirnya, konservasi memang merupakan suatu kerja keras untuk menunjukan eksistensi dari sebuah kinerja budaya! 

Sebagian dikutib dari materi Kuliah Tamu Dr Ing Widjaja Martokusumo, staf pengajar Bidang Keahlian Perancangan Kota, Jurusan Teknik Arsitektur ITB

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar