RSS

Green Building for a Better

    Ketika issue Pemanasan Global (Global Warming) mulai menggema, konsep Green Building menumbuhkan semangat bagi para perencana kota untuk lebih mengedepankan masalah lingkungan dalam perencanaannya. Terutama dengan keterbatasan lahan Ruang Hijau Terbuka (RTH) di kota-kota besar mengakibatkan turunnya kualitas lingkungan yang mendukung kehidupan dalam kota itu sendiri. Para perencana kota, terutama di kota-kota besar dunia mulai bergairah untuk ikut dalam program untuk mengatasi dampak global warming. Walaupun sebenarnya isu-isu tentang penyelamatan lingkungan kota sudah dikenal lama dalam ilmu perencanaan kota, akan tetapi hanya beberapa kota-kota besar di dunia yang sadar akan hal tersebut.

Permintaan untuk mengadopsi sumber energi hijau dalam kehidupan sehari-hari telah mendorong banyak arsitek untuk merancang gedung pencakar langit yang dapat menggunakan sumber energi yang dapat diperbarui. Atap bangunan ini menggunakan sinar matahari dan sumber energi hijau lainnya. Berikut adalah daftar gedung dengan konsep berkelanjutan yang dirancang untuk memiliki atap hijau. 

1. Cactus Building di Qatar

Estetika arsitek GO Group telah merancang struktur kaktus-terinspirasi energi-efisien untuk pemerintah Qatar. Bangunan ini beberapa fitur cerdas nuansa yang membuka dan menutup sesuai dengan kekuatan matahari. Bangunan hijau memiliki kubah botani juga.

2. Nanyang University di Singapura
Singapura yang memang punya lahan terbatas memang harus pintar untuk berpikir bagaimana bisa bangun gedung tanpa harus merusak lingkungan dan salah satu contohnya dilakukan oleh School of Art, Design & Media, Nanyang.
Dibangun oleh CPG Consultants Pte Ltd, mereka berhasil membuat sebuah gedung di area yang seharusnya merupakan area hijau tanpa terlalu merusak area hijau yang sudah ada.

  

3. Nanyang University di Singapura
Desainer Inggris Ken Yeang layak mendapat kredit mengenai pembangunan Fusionopolis. Ia mengklaim bahwa itu adalah bangunan benar-benar hijau pertama di dunia. Fusionopolis akan dibangun di Singapura. Struktur 15-cerita fitur tulang belakang vertikal penanaman di setiap lantai. Setiap lantai bangunan ini telah mendapat teras taman yang indah. Pencakar langit ini akan menggunakan sumber hijau alami seperti matahari untuk menghasilkan energi.

4. Waldspirale
Waldspirale merupakan sebuah apartemen di Darmstadt, Jerman, dibangun tahun 1990-an. Namanya berarti spiral berpohon, merefleksikan plan dari bangunan itu dan juga memiliki taman di atas atapnya. Arsiteknya Heinz M. Springmann, bangunan ini selesai dibangun tahun 2000

5. Roof Garden on Fifth Ave
Ini taman di sebuah bangunan di Fifth Ave, New York City. Konon pada adegan film spiderman bersama kekasihnya diambil di lokasi ini.

6. City Hall building di Chicago
Untuk menghemat energi dan uang untuk biaya pendingin ruangan saat musim panas, sebuat taman hijau dicptakan di atas bangunan City Hall Chicago tahun 2000. Saat ini ribuan jenis tenaman tumbuh di sini dengan lebih dari 150 species tanaman dan sanggup menghemat tagihan utilitas hingga $5000 dollar per-tahunnya.

Nb: dan masih banyak lagi contoh bangunan lain yang memiliki konsep green building. cari sendiri yahhh :)) 

Kerugian utama dari atap hijau adalah biaya awal yang lebih tinggi. Beberapa jenis atap hijau memang memiliki lebih menuntut standar struktural terutama di wilayah gempa dunia. Beberapa bangunan yang ada tidak dapat dipasang dengan beberapa jenis atap hijau karena beban berat substrat dan vegetasi melebihi diizinkan pembebanan statis. 
Indonesia bisa gak ya mewujudkan salah satu dari beberapa bangunan diatas, atau bikin konsep Green Building sendiri yang jauh lebih keren??? atauuuuuu malah semakin terpuruk dengan kerusakan lingkungannya??? Semoga saja tidak....


*Ah.. sudah malam, waktunya bermimpi :D

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Dilema Kawasan Ekowisata Pesisir di Indonesia

Laut sebagai sebuah identitas ekosistem yang sedemikian kaya semakin menarik selera para investor, terutama di bidang pariwisata, karena pemerintah mulai mencoba menggali sumber-sumber daya pariwisata sebagai antisipasi habisnya sumber daya alam.
Pariwisata diyakini merupakan salah satu jalan keluar dari keterpurukan ekonomi seiring dengan menipisnya sumber daya alam.
Pariwisata bahari kemudian datang sebagai ”pendatang baru” di dunia pariwisata yang selama ini banyak terkonsentrasi di hinterland. Orientasi sekonyong-konyong pindah ke daerah pantai dan laut karena pariwisata daratan kemudian berkonotasi dengan kehancuran sehingga semakin menurunkan daya saing pariwisata.

Wisata bahari selama ini masih sedemikian sempit pengembangannya. Tujuan wisata untuk wisata bahari pun masih amat terbatas, di antaranya Bali dan Lombok, Provinsi Nusa Tenggara Barat. Sementara wisata bahari yang berbasiskan pulau-pulau kecil belum digarap. Kekayaan yang sudah terinventarisasi saat ini adalah 59 pulau potensial dan 13 pulau unggulan. Kondisi seperti itu sudah menjanjikan bahwa pariwisata bahari Indonesia memiliki nilai jual tinggi karena ekosistem dan alam lautnya amat menarik.
 Gili Trawangan >> Salah satu Objek Wisata yang terancam di Privatisasi Oleh Swasta

Dengan modal pariwisata bahari berupa ketertarikan pada keunikan ekosistem dan sumber daya bahari serta pada interaksi sosial dan praktik-praktik lokal yang ”unik” kebaharian, yang patut dikembangkan adalah pariwisata bahari (marine ecotourism).
Istilah ecotourism bukanlah ”obat paling manjur” yang dapat mengobati ”kerusakan akibat kegiatan pariwisata”. Pariwisata yang dihayati dan dipraktikkan selama ini dengan taman-taman, daerah perbelanjaan, kuliner, dan produk ecotourism artifisial lainnya ternyata (nyaris selalu) tidak baik bagi lingkungan yang menjadi obyek jualan ecotourism itu sendiri.
Yang perlu digarisbawahi adalah lingkungan itu rentan dan sensitif dengan perubahan besar yang berlangsung secara tiba-tiba, termasuk di dalamnya hewan, tanaman, dan masyarakat yang ada di dalamnya (masyarakat lokal).
Ada kecurigaan bahwa perubahan amat cepat dari paradigma terestrial ke paradigma kelautan ini bukan didorong oleh itikad untuk berbuat lebih baik dari yang sebelumnya (di daratan), melainkan didorong semata-mata oleh keinginan mencari pengganti (daratan) saja atau replacement.
Pembangunan atau apa pun istilahnya, sentuhan investor pada sebuah sumber daya alam yang selama ini terjadi telah meninggalkan ”trauma” tersendiri kepada masyarakat lokal. Kisah-kisah pembangunan/penanaman modal di bidang pertambangan dan perkebunan selama ini hanya berupa kisah-kisah kelabu dan kisah pilu masyarakat lokal.
Menurut pendapat saya pengembangan pariwisata sebenarnya tak jauh berbeda dengan eksploitasi sumber daya alam. Sebagian pulau dengan ekosistem laut dan daratan yang indah, unik, dan menarik sudah digarap, bahkan dijual kepada pihak asing. Sementara itu, masyarakat ”gigit jari” karena aksesnya untuk menangkap ikan semakin terbatas.
Kekhawatirannya akan pendekatan pengembangan pariwisata bahari atau marine ecotourism. Kita menunjuk pada Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Di dalam undang-undang itulah bersembunyi sejumlah ancaman yang berpotensi memiskinkan masyarakat lokal, membuat mereka ”gigit jari” menonton hiburan berupa marine ecotourism di wilayah mereka tinggal bertahun-tahun sebelumnya.
Pada undang-undang tersebut disebutkan bahwa kegiatan pariwisata bahari dapat diberikan melalui sertifikat HP-3, yaitu sertifikat hak pengusahaan, perairan, dan pesisir, yang meliputi permukaan air, kolom air, hingga ke dasar perairan. Jangan coba-coba datang dengan cara menyelam ke wilayah yang telah diterbitkan HP-3-nya.
Perencanaan strategis sebagai prasyarat terbitnya sertifikat HP-3 ditentukan hanya oleh dua pihak, yaitu pemilik modal (pihak swasta) dan pemerintah daerah. Masyarakat setempat tidak mendapatkan hak untuk turut merencanakan, padahal merekalah yang akan menerima akibatnya secara langsung.
Hak tersebut dapat dimiliki oleh sektor swasta (termasuk asing) dengan periode pengusahaan 20 tahun dan dapat diperpanjang untuk periode berikutnya. Disebutkan, masyarakat yang kehilangan aksesnya terhadap sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil akan mendapatkan kompensasi karena dia telah kehilangan akses ke lokasi lapangan kerja mereka untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari.
 

Peraturan boleh berbicara demikian, tetapi temuan tersebut dengan kondisi di lapangan merupakan sebuah realitas yang berbeda. Temuan di Tomia, Wakatobi, Provinsi Sulawesi Tenggara, misalnya, menunjukkan bahwa di lapangan terjadi pengaplingan area laut sebagai zona larang tangkap karena diperuntukkan sebagai dive point dengan kompensasi Rp 5 juta per bulan untuk pembangunan infrastruktur desa. Daerah ini dikelola sebuah perusahaan dari Swiss.
Taman Wisata Nasional Wakatobi

Realitas lain, yaitu di Kepulauan Togean, Provinsi Sulawesi Tengah, perusahaan dari Italia telah mengenakan larangan untuk kegiatan perikanan tradisional sejauh 7 kilometer. Alasannya: konservasi.
Taman Wisata Nasional Kep. Togean

Sementara di Pulau Komodo, Kabupaten Manggarai, Provinsi Nusa Tenggara Timur, investor membatasi akses masyarakat nelayan karena dianggap sebagai ancaman. Tahun 2002 dan 2003 konflik antara pengusaha dan masyarakat telah menelan korban jiwa.

Kita juga bisa menyitir isi UUD 1945 Pasal 33 yang intinya menegaskan bahwa 

kekayaan alam dan sumber daya air, udara, dan sebagainya harus dipergunakan sebesar-besarnya demi kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.

Akan tetapi, yang terjadi sekarang bukan kemakmuran yang didapat, sebaliknya sebuah daerah yang kaya akan sumber daya alam justru identik dengan kemiskinan karena masyarakat lokal terpinggirkan dari hiruk pikuk investasi.
Dengan berbagai catatan tersebut di atas, rencana pengembangan pariwisata bahari atau pariwisata lingkungan kelautan (marine ecotourism) perlu mempertimbangkan beberapa catatan tambahan.
Catatan tambahan itu, jika mau bisa disebut rekomendasi, antara lain, pariwisata bahari tidak boleh dipandang sebagai komoditas industri, perlu dilakukan pendekatan humanis, demokratis, transparan, dan bottom up.
Lalu, konsultatif dengan masyarakat, komunitas nelayan dan masyarakat lain yang bergantung pada sumber daya laut harus menjadi titik berangkat kegiatan pariwisata bahari (pendekatan kultural), inisiatif konservasi masyarakat perikanan tradisional harus dipahami sebagai inisiatif sadar masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam melindungi sekaligus mendapatkan keuntungan dari sumber daya pesisir.
 

Dengan melakukan sesuai catatan-catatan di atas, diharapkan ada kesetaraan di antara para pemangku kepentingan, yaitu pemerintah (daerah atau pusat), pengusaha swasta, dan masyarakat. Lalu, mungkin suatu kali nanti tercapai situasi di mana pariwisata bahari bukan lagi sekadar privatisasi yang menyisakan tangis dan kemiskinan....

dikutip dan ditambah2i dikit dari Pemaparan Dosen pada Perkuliahan MKP Perencanaan Kawasan Pesisir, PWK-FTUB 2012 :D

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

PLNku PLN Kita Semua :)

 


Pernah mengalami hal-hal seperti ilustrasi diatas? Ya, itulah beberapa ekspresi saat tiba-tiba listrik di rumah atau di tempat kost padam tanpa permisi. Sungguh menjengkelkan bukan? Namun sepertinya kejadian diatas masih jauh lebih berperi-kelistrikan daripada yang dijalani oleh teman-teman kita yang bermukim di daerah terpencil yang sedari dulu sudah bersahabat dengan kegelapan malam karena memang belum terlayani oleh jaringan listrik.  
 

 Dalam kegelapan malam, seorang anak kecil tetap belajar
walau hanya diterangi oleh lampu petromax  
(Foto:dok/antaranews.com)


atau Ketika orang lain di luar sana bisa hidup “terang”, Mereka yang tinggal di pedalaman Pulau Kalimantan pun menghidupkan dua buah tv dan beberapa bohlam 5 watt dengan mengggunakan genset
(Foto:dok/googleimage)

Sungguh miris memang jika melihat beberapa uraian diatas. Namun tentu PLN tidak akan membiarkan hal itu terus berlanjut. Saya yakin para petinggi PLN beserta jajaran staff dan karyawannya sudah melakukan beberapa upaya terbaik dan inovasi serta terobosan terbaru untuk meningkatkan pelayanan mereka. Seperti pada Layanan Listrik Pintar. Layanan ini merupakan inovasi terkini yang berhasil dijalankan oleh PLN. Dengan menggunakan listrik pintar ini, pelanggan diharapkan mampu mengatur penggunaan listriknya secara efisien. sehingga mereka akan terbiasa melakukan penghematan seperti mematikan lampu yang tidak digunakan, mengurangi pemakaian AC, dan tindakan-tindakan hemat listrik lainnya. Lain halnya dengan sewaktu dulu pada saat menggunakan sistem pasca bayar, penggunaan listrik jadi semaunya karena tidak ada limit yang menjadi patokan penggunaan listriknya. Sungguh bermanfaat sekali.

Disamping itu PLN juga menerapkan prinsip Good Corporate Governance (GCG). Hal ini dilakukan karena  telah menjadi kebutuhan dalam menjalankan kegiatan bisnis agar setiap pertumbuhan usaha dapat berjalan secara berkelanjutan, meningkatkan nilai perusahaan agar mampu bertahan dalam persaingan global. Dalam hal ini, manajemen PLN telah menegaskan komitmennya untuk menjalankan praktek penyelenggaraan korporasi yang bersih dan bebas dari segala bentuk korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).

Adapun program ‘PLN Bersih’ ini meliputi reformasi dalam proses Pengadaan Barang dan Jasa (PBJ) mulai dari studi pemetaan dalam tahapan/proses PBJ dan juga reformasi proses pelayanan pelanggan yang berkualitas. Dalam konsep ini akan ada tim penerima keluhan pelanggan atau masyarakat yang dikenal dengan whistle blower system. Hal ini digunakan sebagai informasi untuk menginformasikan praktik-praktik korupsi, termasuk memberikan perlindungan pada orang yang menginformasikan terjadinya praktik korupsi di lingkungannya.

Ya, kami, seluruh rakyat Indonesia, tentu saja  berharap besar bahwa dengan adanya kerjasama tersebut, semua pihak dapat terhindar dari kegiatan-kegiatan yang menimbulkan kerugian negara. Kami juga berharap PLN terus meningkatkan dan memperluas area pelayanannya karena listrik bukan hanya milik orang kota saja, juga bukan hanya milik Pulau Jawa saja tetapi milik seluruh orang Indonesia.
Dan satu hal yang pasti karena  
PLNku ini PLN Kita Semua :)



  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS